Total Tayangan Halaman

Kamis, 09 Juni 2011

MERAIH KEBENINGAN HATI

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh..

Keberuntungan memiliki hati yang bersih sepatutnya membuat diri kita berpikir keras setiap hari menjadikan kebeningan hati ini menjadi aset utama untuk menggapai kesuksesan dunia dan akhirat. Subhanallaah, betapa kemudahan dan keindahan hidup akan senantiasa meliputi diri orang yang berhati bening ini.

Karena itu mulai detik ini bulatkanlah tekad untuk bisa menggapainya, susun pula program nyata untuk mencapainya. Diantara program yang bisa kita lakukan untuk menggapai hidup indah dan prestatif dengan bening hati adalah:

◘  Ilmu. Carilah terus ilmu tentang hati, keutamaan kebeningan hati, kerugian kebusukan hati, bagaimana perilaku dan tabiat hati, serta bagaimana untuk mensucikannya. Diantara ikhtiar yang bisa kita lakukan adalah dengan cara mendatangi majelis taklim, membeli buku-buku yang mengkaji tentang kebeningan hati, mendengarkan ceramah-ceramah berkaitan dengan ilmu hati, baik dari kaset maupun langsung dari nara sumbernya. Dan juga dengan cara berguru langsung kepada orang yang sudah memahami ilmu hati ini dengan benar dan ia mempraktekannya dalam kehidupan sehari-harinya. Harap dimaklumi bahwa ilmu hati yang disampaikan oleh orang yang sudah menjalaninya akan memiliki kekuatan ruhiah besar dalam mempengaruhi orang yang menuntut ilmu kepadanya. Oleh karenanya carilah ulama yang dengan gigih mengamalkan ilmu hati ini.

Riyadhah atau Melatih Diri. Seperti kata pepatah, “bisa karena biasa.” . Seseorang mampu melakukan sesuatu dengan optimal salah satunya, karena terlatih atau terbiasa melakukannya. Begitu pula upaya dalam membersihkan hati ini ternyata akan mampu dilakukan dengan optimal jikalau kita terus-menerus melakukan riyadhah (latihan). Adapun bentuk latihan diri yang dapat kita lakukan untuk menggapai bening hati ini adalah;

Menilai kekurangan atau keburukan diri. Patut diketahui bahwa bagaimana mungkin kita akan mengubah diri kalau kita tidak tahu apa-apa yang harus kita ubah, bagaimana mungkin kita memperbaiki diri kalau kita tidak tahu apa yang harus diperbaiki. Maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah dengn bersungguh-sungguh untuk belajar jujur mengenal diri sendiri dengan cara memiliki waktu khusus untuk tafakur. Setiap ba’da shalat kita harus mulai berpikir; saya ini sombong atau tidak? Apakah saya ini riya atau tidak? Apakah saya ini orangnya takabur atau tidak? Apakah saya ini pendengki atau bukan? . Belajarlah sekuat tenaga untuk mengetahui diri ini sebenarnya. Kalau perlu buat catatan khusus tentang kekurangan-kekurangan diri kita (tentu saja tidak perlu kita beberkan pada orang lain). Ketahuilah bahwa kejujuran pada diri ini merupakan modal yang teramat penting sebagai langkah awal kita untuk memperbaiki diri kita ini

Memiliki partner. Kawan sejati yang memiliki komitmen untuk saling mengkoreksi semata-mata untuk kebaikan bersama yang memiliki komitmen untuk saling mewangikan, mengharumkan, memajukan, dan diantaranya menjadi cermin bagi satu yang lainnya. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Tentu saja dengan niat dan cara yang benar, jangan sampai malah saling membeberkan aib yang akhirnya terjerumus pada fitnah. Partner ini bisa istri, suami, adik, kakak, atau kawan-kawan lain yang memiliki tekad yang sama untuk mensucikan diri. Buatlah prosedur yang baik, jadwal berkala, sehingga selain mendapatkan masukan yang berharga tentang diri ini dari partner kita, tetapi kita juga bisa menikmati proses ini secara wajar.

Manfaatkan orang yang tidak menyukai kita. Mengapa? Tiada lain karena orang yang membenci kita ternyata memiliki kesungguhan yang lebih dibanding dengan orang yang lain dalam menilai, memperhatikan, mengamati, khususnya dalam hal kekurangan diri. Hadapi mereka dengan kepala dingin, tenang, tanpa sikap yang berlebihan. Anggaplah mereka sebagai aset karunia Allah yang perlu kita optimalkan keberadannya. Karenanya jadikan apapun yang mereka katakan, apapun yang mereka lakukan menjadi bahan perenungan, bahan untuk ditafakuri, bahan untuk dimaafkan, dan bahan untuk berlapang hati dengan membalasnya justru oleh aneka kebaikan. Sungguh tidak pernah rugi orang lain berbuat jelek kepada diri kita. Kerugian adalah ketika kita berbuat kejelekan kepada orang lan.

Tafakuri kejadian yang ada disekitar kita, seperti kejadian di negara, tingkah pola para pengelola negara, akhlak pimpinan negara, atau tokoh apapun dan siapa pun di negeri ini. Begitu banyak yang dapat kita pelajari dan tafakuri dari mereka, baik dalam hal kebaikan ataupun kejelekkan/kesalahan (tentu untuk kita hindari kejelekan/kesalahan serupa). Selain itu dari orang-orang yang ada di sekitar kita, seperti teman, tetangga, atau tamu yang mereka itu merupakan bahan untuk ditafakuri. Mana yang menyentuh hati, kita menaruh rasa hormat, kagum kepada mereka dan mana yang akan melukai hati, mendera perasaan, mencabik qalbu. Karena itu juga bisa jadi bahan contoh, bahan perhatian, lalu tanyalah pada diri kita mirip yang mana? Tidak usah kita mencemooh orang lain, tapi tafakuri perilaku orang lain tersebut dan cocokan dengan keadaan kita. Ubahlah sesuatu yang dianggap melukai seperti yang kita rasakan kepada sesuatu yang menyenangkan. Sesuatu yang dianggap mengagumkan kepada perilaku kita seperti yang kita kagumi tersebut.

Mudah-mudahan dengan riyadhah tahap awal ini kita mulai mengenal siapa sebenarnya diri kita. Insya Allah.

ooooOoooo

Carilah ilmu, karena ilmu adalah cahaya dan petunjuk, sedangkan kebodohan adalah kegelapan, dan kesesatan. Marilah kita menuntut ilmu, karena ulama yang merupakan pewaris para Nabi, sedang para Nabi tidak mewariskan harta atau uang atau emas. Mereka hanya mewariskan ilmu, sehingga siapapun yang mau mengambilnya berarti ia telah memperoleh bagian yang sempurna dari warisan para Nabi. Marilah kita menekuni ilmu, karena ilmu syari’at adalah derajat di dunia dan akherat yang merupakan pahala yang terus menerus berlanjut bagi pemiliknya. Bila seseorang memahami masalah-masalah agamanya, berarti dia menghendaki kebaikan atas dirinya dan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberinya pemahaman tentang agamanya. Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bila seorang hamba telah meninggal, maka putuslah segala amalnya, kecuali tiga yaitu, shadaqoh jariyah atau ilmu yang bermanfaat (sepeninggalnya), atau anak sholeh yang mendoakan kepadanya”. (HR Muslim).

Belajarlah ilmu untuk ilmu, agar memperoleh berkah dan memetik buahnya, dan belajarlah ilmu untuk amal agar supaya kita beramal yang disertai dengan ilmu. Bukan untuk berdebat dan bukan pula untuk berbantah-bantahan, karena orang yang menuntut ilmu untuk berdebat dengan orang-orang yang bodoh atau agar dia bisa berjalan sejajar dengan ulama, sesungguhnya dia telah menyerahkan dirinya untuk menerima sika Allah dan memberhentikan dirinya pada tujuan yang hina. Janganlah menuntut ilmu karena harta. Ilmu lebih mulia daripada keberadaannya menjadi sarana untuk meraih harta. Harta lebih pantas digunakan sebagai sarana untuk mencapai ilmu, karena harta akan semakin berkurang bahkan bisa punah, sedangkan ilmu tetap bercahaya dan semakin bertambah jika mendapat pengamalan sebagai mestinya.

Ketidakpedulian terhadap menuntut atau belajar ilmu agama merupakan ketersia-siaan dan kezaliman pada diri sendiri serta akan menyesal di kemudian hari. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,  “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang sholeh dan berkata : Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (Fushshilat ayat 33). Rosulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Ilmu itu laksana gedung, sedangkan kuncinya adalah bertanya. Ingatlah, maka bertanyalah kamu karena sesungguhnya diberi pahala di dalamnya empat golongan : yang bertanya, yang berilmu, yang mendengarkan dan yang menyukai mereka” (HR Abu Nu’aim).

Perlu kiranya disadari lebih dulu bahwa seseorang memang kurang memperhatikan atau lalai mengenal dirinya sendiri dan tidak pula berusaha untuk manaikkan tingkatnya sampai dapat mencapai pengertian yang sebenar-benarnya, terutama yang berhubungan dengan sifat ketakutan yang wajib dijelmakan dalam hatinya. Orang yang benar-benar takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hendaknya meneliti baik-baik apa yang tertuang dalam firman-Nya dan sabda-sabda Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, selanjutnya direnungkan dengan akal fikiran dan keadaannya dengan apa yang dilakukan serta berharap keridhoan-Nya agar diberikan keringanan atau dihindarkan dari siksa ataupun adzab-Nya. Ada seorang yang bertanya mengenai maksud firman Allah Subhanahu wa Ta’al, “Allah meridhoi mereka dan merekapun ridha pada-nya. Demikian itu adalah untuk orang yang takut kepada Tuhannya” (Bayyinah ayat 8). Lalu seseorang dari golongan ‘alim ‘ulama menjawab, “Maksudnya adalah untuk seseorang yang memperhatikan kepentingan Allah ‘Azza wa Jalla dan di samping itu ia selalu memperhitungkan dirinya sendiri, berapa kebaikan yang dilakukan dan berapa dosa yang diperbuat sebagai perbandingan agar dapat terus berhati-hati. Kesemuanya itu ditujukan untuk dijadikan bekal kembali ke alam akherat yang tiada habis-habisnya”. Lantas dengan jalan apakah agar dapat menolong dirinya sendiri supaya dapat memejamkan matanya? Dijawabnya,“Untuk itu engkau menginsafi bahwa pandangan Dzat yang melihat kepadamu itu lebih dahulu penglihatan-Nya daripada pandanganmu kepada sesuatu yang hendak kau lihat itu”.

Dalam menginsafi dirinya sendiri, seseorang haruslah mengarahkan pandangannya dalam dua hal, yaitu pandangan sebelum sesuatu itu diamalkan dan pandangan di saat sesuatu itu sedang diamalkan. Pandangan sebelum dilakukan adalah supaya diteliti betul-betul apakah amalan yang akan dikerjakan itu semata-mata untuk mengharapkan keridhoan-Nya, baik perhatian otaknya maupun gerakkan anggauta tubuhnya ataukah karena hendak memperturutkan hawa nafsu jahatnya serta mengikuti ajakan syaitan yang terkutuk. Inilah yang wajib diresapi lebih dahulu, sehingga untuk beberapa saat jika perlu, bolehlah diteruskan atau tidak diteruskan. Hal ini dimaksudkan agar dapat mensejajarkan niat yang sebenarnya dengan cahaya kebenaran. Sekiranya nyata-nyata karena Allah dan mengharapkan keridhoan-Nya, maka sebaiknya diteruskan, dan sebaliknya bila karena ada sesuatu yang selain Allah hendaknya diri sendiri merasa malu dan menghentikan dulu apa yang akan dilakukan. Jiwanya sendiri wajib dicela, mengapa yang selain Allah itu yang lebih dicintai, lebih dihargai, lebih disenangi dan lebih diperhatikan serta dituruti? Betapa buruknya niat itu dan alangkah lebih buruknya lagi jika amalannya itu sudah dilaksanakan, padahal bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sadarilah bahwa dirinya ini benar-benar telah menjadi musuh dari tubuhnya sendiri. Sedangkan pandangan  saat dilakukan adalah meneliti di waktu hendak memulai mengerjakan amalan yaitu supaya diperiksa betul-betul cara dan mengamalkannya itu sesuai dengan tuntutan yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala agar amalan tersebut berlangsung sepanjang yang diridhoi oleh-Nya, sehingga terpenuhilah hak Allah dari dirinya. Sementara itu hendaklah memperbaiki niatnya untuk menyelesaikan amalan itu sampai selesai. Kerjakanlah dengan sebaik mungkin dan sesempurna mungkin.

Cara meneliti apa-apa yang telah dilakukan, kiranya juga tidak akan terlepas dari tiga macam keadaan, yaitu amalan berupa ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, amalan berupa kemaksiatan dan amalan berupa kemubahan. Cara meneliti dalam hal ketaatan, yang terpenting adalah agar amalan itu dilakukan dengan ikhlas, diusahakan sesempurna mungkin, dan menjaga adab kesopanan yang perlu serta menjaga jangan sampai terkena kotoran atau penyakitnya (seperti bid’ah dan riya’ misalnya). Cara meneliti dalam hal kemaksiatan, yang perlu diteliti agar segera bertaubat dengan disertai perasaan menyesal dan bermaksud dengan sungguh-sungguh taubat untuk melemparkan perbuatan maksiat selama-lamanya. Bahkan merasa malu berbuat maksiat dan selanjutnya berfikir serta mengingat selalu untuk menepati apa yang telah dijanjikan dalam hatinya yakni tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Cara meneliti dalam hal kemubahan, yang perlu diperhatikan adalah agar dipenuhi adab kesopanan yang patut dilaksanakan. Sementara itu, hendaknya diakuinya betapa besarnya kenikmatan yang telah diberikan kepada dirinya itu dan perlu untuk disyukuri.

Selanjutnya dalam segala hal, seseorang itu tentu tidak terlepas dari bencana yang mungkin menimpanya ataupun suatu kenikmatan yang mungkin diterimanya. Untuk yang pertama adalah perlu hatinya bersabar, sedang kedua adalah memanjatkan rasa syukur dan terima kasih kepada Dzat yang mengkaruniakan. Hal-hal tersebut termasuk muraqabah, malahan seseorang itu tentunya tidak dapat melepaskan diri dari kewajiban yang ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik berupa perbuatan yang wajib dilakukan ataupun larangan yang wajib dijauhi, atau kesunahan yang dianjurkan untuk bersegera dilakukan sekalipun secara sukarela agar dapat memperoleh pengampunan dan berlomba-lomba dengan hamba-hamba Allah yang lain, juga berupa hal yang mubah yang di dalamnya terkandung kemaslahatan tubuh dan hatinya dan yang dapat digunakan sebagai penolong langsung dan kuatnya beribadah kepada Allah, maka dalam masing-masing keadaan tersebut hendaklah diikuti batas-batasnya dengan terus mengadakan penelitian, pemeriksaan yang secermat-cermatnya.

Bagaimana orang-orang mukmin itu tidak akan takut dan kecut hatinya, jikalau sudah mengenal dirinya? Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang takwa diantara seluruh umat manusia, namun Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sendiri merasa takut dan bersabda, “Saya dibuat beruban oleh surat Hud dan saudara-saudaranya (yakni surat-surat Waqi’ah, Idzasy-syamsu kuwwirat dan ‘Amma yatasaalun)” (HR Tirmidzi). Padahal Rosulullah   shalallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pasti mengetahui bahwa andaikata Allah Ta’ala menghendaki tentulah tidak seorangpun akan dijadikan orang musyrik, setiap orang itu akan diberi petunjuk yang benar.

Namun ada orang yang tenang-tenang saja hatinya tanpa ada rasa takut sama sekali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala itu seperti orang-orang yang berbuat sebagaimana kelakuan Fir’aun juga orang-orang yang bodoh dan tolol atau hilang akal. Rosulullah  shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang termulia dan penghulu sekalian “Pernah suatu ketika ada seorang anak meninggal dunia, lalu orang itu berkata, “Enak sudah nasibnya, sebagai seekor burung kecil dari burung-burung syurga yang mereka”. Tiba-tiba Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan kemarahannya dan bersabda, “Siapa yang memberitahukan padamu bahwa ia akan menjadi sebagaimana yang kau katakan itu. Demi Allah, saya Rosulullah sendiripun tidak tahu apa yang akan diperbuat oleh Allah terhadap diriku. Sesungguhnya Allah membuat syurga dan ditetapkanlah siapa-siapa yang akan menjadi penghuninya disitu, tidak ditambah dari jumlah yang ditentukan itu dan tidak pula dikurangi” (HR Muslim). “Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke tempat salah seorang sahabatnya yang sedang sakit, lalu Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seorang wanita berkata, “Untung kamu, kamu akan mendapatkan syurga”. Di waktu itu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang berlagak sebagai Allah Ta’ala itu, siapa yang memberitahukan kamu bahwa ia masuk syugya? Barangkali orang itu pernah berbicara sesuatu yang tidak berguna baginya ataupun kikir membelanjakan sesuatu yang tidak diperlukannya” (HR Tirmidzi).

Sebenarnya dalam Al-Qur’an itu sejak dari permulaan sampai kepada akhirnya, banyak berisi ayat-ayat yang menakutkan bagi siapa saja yang mau berfikir atau mendalami isinya. Andaikata tidak ada itu semua dan yang ada hanya ayat-ayat di bawah ini, rasanya cukuplah sudah, karena di dalamnya dijelaskan bahwa dapatnya pengampunan itu tergantung pada empat syarat, yang sekiranya oleh seseorang hambapun bila tidak sangat ketaatannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sangat berbakti untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi benar-benar larangan-Nya. Ayat yang dimaksudkan adalah “Sesungguhnya Aku (Allah) pastilah Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beramal sholeh kemudian suka mendapatkan petunjuk baik” (Thaha ayat 82). Jadi empat syarat itulah pengampunan akan datang, yaitu bertaubat, beriman, beramal sholeh dan suka mendapatkan petunjuk, lalu mengamalkannya. Selain itu anda renungkan juga ayat-ayat di bawah ini :

1.  Untuk menjadi orang bahagia harus memenuhi tiga syarat, “Maka barangsiapa yang bertaubat, beriman dan beramal sholeh, barangkali saja ia akan termasuk dalam golongan orang yang berbahagia” (Qashash ayat 67).
2.  Pertanyaan kebenaran, “Karena Allah hendak menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka itu” (Ahzab yat 8)
3.  Allah akan bertindak tegas kepada bangsa manusia dan jin, “Kami (Allah) akan bertindak terhadap kamu, hai manusia dan jin” (Rahman ayat 31)
4.  Tidak seorangpun dapat merasa aman dari siksa Allah, “Apakah mereka itu merasa aman dari rencana muslihat Tuhan (yang berupa siksa). Tidak ada yang merasa aman dari rencana Tuhan melainkan orang-orang yang mendapat kerugian” (A’raf ayat 99).
5.  Siksa Allah pada penganiaya amat pedih sekali, “Demikianlah apabila Tuhanmu menghukum negeri-negeri yang pemeluknya melakukan kezaliman, sesungguhnya hukuman Tuhan itu adalah pedih dan keras” (Hud ayat 102).
6.  Sekalipun sedikit ada perhitungannya baik atau buruk, “Maka barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat debu, maka akan diketahuinya dan barangsiapa yang mengerjakan keburukan seberat debu juga akan mengetahuinya” (Zalzal ayat 7-8).
7.  Semua orang merugi kecuali yang ditentukan, “Dengan menyebut  nama Allah yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Demi masa : Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian; Kecuali orang-orang beriman dan beramal sholeh, pesan memesan antara satu sama lain dengan kebenaran dan pesan memesan satu sama lain supaya berhati sabar (teguh)” (‘Ashr ayat 1-3). Keempat syarat inilah yang dapat melepaskan diri kita dari kerugian di sepanjang masa, yaitu beriman, beramal sholeh, pesan memesan (ingat mengingatkan) dalam kebenaran dan kesabaran.

Bila mata kita dipaksa untuk melihat ke hadlirat Allah yang Maha Merajai, Kekal dan Abadi, kiranya kita cukup berkata, “Ya Allah, ampunilah kita, kasihinilah kita, sebab tidak ada tempat kita berharap lagi, melainkan Dzat yang Maha Mulia itu saja”, padahal sudah jelas bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Tidak ada suatu kemanfaatan yang diperoleh manusia itu, melainkan apa yang telah dilakukannya sendiri” (Najm ayat 39). Firman-Nya pula, “Janganlah kepercayaanmu kepada Allah itu tertipu oleh perasaanmu sendiri yang pandai menipu” (Fathir ayat 5). Selanjutnya firman-nya juga, “Hai manusia, apakah yang menipumu (berbuat dosa) terhadap Tuhanmu yang Maha Mulia” (Infithar ayat 6). Maksudnya adalah apa yang menyebabkan kamu tertipu, sehingga lalai kepada Tuhanmu?

Al-Qasimi rahimatullah berkata bahwa "Taubat yang sempurna bukan hanya meninggalkan syahwat, tetapi memperbaiki apa yang telah dilakukan/lewat. Setiap syahwat manusia akan menyebabkan kegelapan hati. Jika menumpuk bisa berkarat (lihat Surat Al-Muthaffiffiin ayat 14)”. Untuk memperbaiki karat, tidak cukup dengan meninggalkannya untuk masa mendatang, tapi harus menghapus karat-karat yang telah menutupi hati.

Taubat bukan hal yang mudah, karena menyangkut kebiasaan yang terkadang bagi sebagian orang sulit untuk meninggalkannya. Taubat adalah kembalinya hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala disertai dengan penyesalan terhadap sikap lalai dan meninggalkan dosa. Oleh sebab itu, yang terbaik bagi orang yang hendak kembali kepada jalan yang benar adalah dengan mengurangi perbuatan dosanya sedikit demi sedikit. Hal ini akan terasa mudah dan bila sukses dalam menjalankannya maka dampak positif akan menancap dengan sempurna (kemungkinan kembali melakukan perbuatan dosa akan sangat kecil). Beda dengan taubat yang dilakukan secara total dan mendadak, kemungkinan besar akan bertahan sebentar saja. Sebagian ulama mensyaratkan taubat tercakup tiga unsur, yaitu segera meninggalkan maksiat, menyesali perbuatannya dan bertekad untuk tidak mengulangi kembali selamanya.

Langkah-langkah bertaubat menurut Khalid Sayid Rusyah dalam bukunya "Ladzatul Ibadah" adalah :
1.     Ingat semua dosa dan merenungkan bahaya yang diakibatkannya.
2.     Membulatkan niat, kehendak, dan tekadnya tanpa ragu untuk bertobat.
3.     Bersuci dan banyak beristighfar.
4.     Menyendiri seraya menumbuhkan rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Membaca ayat-ayat yang menjelaskan tentang siksa dan hukuman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut hadist-hadits yang bermuatan rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Merenungkan dan menghayati maknanya serta memposisikan diri sebagai obyek yang dimaksud oleh ayat dan hadist yang dibaca.
5.     Menangis dan meratapi kesalahan dan dosa yang telah diperbuatnya.
6.     Mengingat nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah diberikan kepadanya.
7.     Menumbuhkan rasa benci yang sangat pada perbuatan dosa. Karena dosa hanya akan menimbulkan kesengsaraan batin, dan menjatuhkan citra dan kehormatan di mata masyarakat, dan Allah SWT Maha Tahu atas segala perbuatan yang dilakukan oleh hamba-Nya.
8.     Mengangkat tangannya sambil berdoa dan bermunajat seraya mengakui dosa dan kelalaiannya. Juga meminta agar dianugerahi tobat, dan jalan kembali yang baik.
9.     Mengulang-ulang istighfar setiap waktu.
10.   Berjanji kepada diri sendiri dan ikrar di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam doanya bahwa akan senantiasa menjaga tobatnya dan istiqomah menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
11.   Menjaga diri dari lingkungan yang dapat menjerumuskan pada perbuatan dosa.
12.   Menambah kegiatan amal dan ibadah serta meningkatkan kualitas khusyu’ dan ikhlas dalam amal dan ibadahnya.
13.   Mengulang-ulang taubat, dan selalu berharap dan bertanya kepada diri sendiri apakah taubatnya diterima (harap-harap cemas).
14.   Merendahkan diri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas dosa-dosa yang telah diperbuatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar